Kabar baik datang dari sektor kepelabuhanan Indonesia. Data resmi terkini menunjukkan bahwa rata-rata dwelling time nasional di pelabuhan telah mencapai 2,6 hingga 2,77 hari pada Maret 2025, sebagaimana dilaporkan oleh DDTC News dan CNBC Indonesia. Angka ini secara statistik berada di bawah target pemerintah, yang menargetkan dwelling time di bawah 3 hari untuk meningkatkan efisiensi logistik nasional. Namun, di balik angka yang membaik ini, realitas operasional di lapangan masih menyimpan kompleksitas dan tantangan yang perlu disoroti.
Meskipun secara umum dwelling time menunjukkan perbaikan, laporan di beberapa pelabuhan masih mencatat rata-rata 4 hingga 5 hari. Kesenjangan ini terutama disebabkan oleh tiga masalah utama:
Pertama, sulitnya monitoring real-time. Pihak importir, forwarder, dan pengusaha truk sering tidak mengetahui lokasi atau status kargo mereka di pelabuhan. Komunikasi manual dan sistem data yang terpisah-pisah antarlembaga (pelabuhan, Bea Cukai, dll.) memperparah ketidaktransparanan ini, diperburuk oleh adopsi teknologi digital yang lambat.
Kedua, akurasi data yang rendah. Informasi yang diterima seringkali tidak tepat atau terlambat diperbarui, seperti perubahan jadwal kedatangan kapal atau status izin yang belum update. Input data manual yang rawan kesalahan dan kurangnya pembaruan otomatis berkontribusi pada inkonsistensi data, menghambat perencanaan yang efisien.
Ketiga, beban biaya overtime yang mahal. Akibat monitoring yang buruk dan data yang tidak akurat, barang sering tertahan lebih lama. Ini memicu denda besar seperti demurrage dan biaya storage. Meskipun dwelling time di Belawan telah membaik signifikan (misalnya, DDTC News melaporkan 2,52 hari pada Maret 2025, jauh dari 7-8 hari di masa lalu, dan Kompas.id bahkan menyebut 6,5 jam berkat sistem digital), tantangan operasional seperti kepadatan lapangan penumpukan atau kemacetan akses jalan tetap menambah biaya logistik. Pada intinya, dwelling time terhambat karena kurangnya informasi yang akurat dan terintegrasi di sepanjang rantai pasok.
Untuk mengatasi permasalahan dwelling time yang masih berlangsung secara persisten, salah satu solusi utama adalah penerapan sistem yang terintegrasi dan berbasis real-time. Hal ini mencakup pengembangan dan implementasi platform digital terpadu yang dapat diakses oleh seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pelayaran, operator pelabuhan, Bea Cukai, hingga importir dan forwarder. Sistem ini harus mampu menyediakan pembaruan status kargo secara langsung dari awal hingga akhir proses logistik, serta mengotomatiskan input dan pembaruan data guna menjamin akurasi informasi. Dengan sistem yang terintegrasi, semua pihak akan memperoleh visibilitas penuh terhadap pergerakan barang, sehingga dapat mengurangi keterlambatan akibat informasi yang tidak akurat, menekan biaya lembur, dan meningkatkan efisiensi operasional secara keseluruhan. Selain itu, keberadaan sistem ini juga akan mempermudah implementasi Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 116 Tahun 2016 yang mengatur pemindahan barang long stay, sehingga mendukung upaya pemerintah dalam menurunkan dwelling time secara berkelanjutan. Transformasi sistem bukan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak agar pelabuhan Indonesia mampu bersaing di panggung logistik global.